Bali mulai mengembangkan dan memperluas jaringan ekowisata desa atau JED untuk memberikan keseimbangan dengan usaha wisata komersial yang lebih maju dari segi pelayanan maupun infrastruktur. "Kami tidak ingin memindahkan atau mengalihkan wisatawan ke tempat lain. Ekowisata hanya dilakukan sebagai bentuk penyeimbang terhadap ekonomi lokal, dan masyarakat kali ini sebagai subjek," kata Direktur Yayasan Wisnu Made Suarnatha sekaligus sebagai pendamping dalam JED ini di Karangasem, Jumat (4/12). Sampai saat ini baru empat model desa yang telah berkembang, yaitu Sibetan dan Tenganan di kabupaten Karangasem, Plaga di Kabupaten Badung, dan Nusa Ceningan di Kabupaten Klungkung. Pada 15 Desember mendatang akan membentuk asosiasi JED yang di dalamnya telah bersiap 20 desa yang siap untuk mempromosikan daerahnya. Ke-20 desa itu diantaranya Purboayu di Kabupaten Karangasem, Desa Les, Sudaji, Sumber Klampok dan Pemuteran yang terletak di kabupaten Buleleng. Kemudian Desa Kaliakah dan Perancak di Kabupaten Jembrana dan Desa Sekartaji, Braban, dan Angkah di Kabupaten Tabanan. "Dulu pariwisata Bali merupakan ekowisata dan wisatawan yang datang bukan hanya mencari tempat indah untuk bersenang-senang tapi bagaimana mereka mampu mendapatkan pelajaran dan pengalaman yang berharga untuk saling berbagi," kata Suarnatha. Setiap desa harus mampu mengidentifikasi kekhasannya masing-masing, sekecil apapun. Potensi ini yang harus dikemas, karena menurut survei bahwa wisatawan yang pernah ke Bali, 60 persen di antaranya akan kembali ke Bali. "Suguhan wisata yang ditawarkan tentu harus berbeda sehingga membuat mereka menjadi terkesan tiap kali datang. Ini yang harus dipikirkan supaya Bali tidak kehilangan yaitu dengan mengemas potensi itu," kata dia. Asosiasi ini juga memberikan ruang promosi berupa pamflet. Hal ini yang akan dicoba untuk dikembangkan karena Bali yang awalnya merupakan daerah ekowisata kemudian booming pariwisata massal dengan fasilitas akomodasi yang luar biasa dan justru membuat konflik dengan lingkungan. "Bali ini pulau kecil dan jangan selalu dijejali dengan hal-hal yang bersifat massa," ujar Suarnatha. Selain memberikan ruang untuk promosi, asosiasi ini juga sebagai wadah guna mendapatkan pendampingan dan secara teknis akan diberikan pelatihan bagaimana menjadi seorang pemandu wisata. Nantinya akan diberikan sertifikat untuk desa yang telah memenuhi syarat, seperti soal sanitasi, makanan, dan cara memperlakukan para wisatawan yang berkunjung. Empat desa yang sudah ada nantinya akan berbagi pengalaman dengan beberapa desa yang baru merintis ekowisata ini. JED sendiri telah membangun jaringan ke luar negeri hingga beberapa negara, seperti Thailand, Kamboja, Malaysia, dan Amerika Latin. JED ini harus membuat keuntungan lebih banyak pada masyarakat lokal karena selama ini pariwisata dikuasai pebisnis besar dan pemerintah kurang memfasilitasi. "Pemerintah lebih banyak memberikan ruang untuk investor sehingga potensi desa di Bali ini kurang terekspos," ujarnya. Dia mengakui bahwa sampai saat ini, sejak JED dikembangkan, peminatnya memang sebagian besar wisatawan mancanegara, seperti dari Eropa, Jepang, Amerika Latin, Australia, dan Amerika Serikat. Dengan perluasan JED ini, diharapkan ke depannya, akan terjadi pemerataan di sektor pariwisata dan masyarakat yang berhak mendapatkan keuntungan serta manfaat lebih besar karena merekalah yang selama ini mengelola dan memelihara daerahnya. "Persoalan atau kendala bahasa tidak terlalu penting karena nantinya akan ada penerjemah. Yang terpenting adalah masyarakat memahami potensi desanya dan bagaimana menjualnya," kata dia.
Manajer JED Gede Astana menambahkan, untuk tahun ini jumlah wisatawan yang mengikuti ekowisata sebanyak 300 orang. "JED ini tidak menitikberatkan pada jumlah karena yang terpenting adalah kualitas," ujarnya. Seperti kunjungan ke hutan di Tenganan yang dibatasi tidak boleh lebih dari 15 orang. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar hutan tidak rusak. [www.mediaindonesia.com/Ant/OL-5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar